Pintu Masuk Ke Kawasan Adat Suku Kajang |
Suku Kajang terletak di kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, sekitar 20 Km dari Ibu Kota Kabupaten dan sekitar 170 Km dari Kota Makassar, Suku Kajang Mendiami Kawasan Adat Ammatoa, Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa Berpakaian serba hitam sudah menjadi identitas dari Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dibalik itu, ternyata pakaian tersebut memiliki makna tersendiri bagi suku mereka. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan.
Warga Suku Kajang (foto by infoMks) |
Menurut pasang (pesan dari nenek moyang) tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna (Tuhan Yang Maha Kuasa).Masyarakat Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung. Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti mencari sumber kebenaran (to inquiri into or to investigate the truth). Ajaran Patuntung mengajarkan jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yaitu menghormati Turiek Akrakna (Tuhan), tanah yang diberikan Turiek Akrakna, dan nenek moyang (Rossler, 1990). Kepercayaan dan penghormatan terhadapTuriek Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung.Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa
Warga Suku Kajang by Kajang itu Hitam |
Suku Kajang Amma Toa sangat menghormati dan menjaga lingkungan. Mereka memperlakukan hutan seperti seorang ibu yang harus dilindungi. Masyarakat dilarang keras menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Hal tersebut dipercaya bisa mendatangkan kutukan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat. Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa. Secara lebih jelas Al Rawali (2008) menyebutkan tiga kawasan hutan tersebut sebagai berikut:
Kawasan yang pertama adalah Barong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan barong karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah pasang, yaitu: Talakullei nisambei kajua, Iyatominjo kaju timboa. Talakullei nitambai nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa alamung-lamung ri boronga, Nasaba sere wattu la rie tau angngakui bate lamunna (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.
Kawasan yang kedua adalah Barong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan.
Namun, tidak semua kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa, Nyatoh, dan Pangi. Jumlah kayu yang ditebang pun harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa.
Syarat utama ketika orang ingin menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya. Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan. Menebang satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh dilakukan dengan menggunakan alat tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan kayu yang sudah ditebang juga harus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh ditarik karena dapat merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat, namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku. Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang terdapat dalam hutan rakyat ini.
Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sangsi yang diberikan tidaklah sama, tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.
Kesederhanaan
Berbicara tentang ideologi hidup masyarakat Kajang, tidak dapat terlepas dari sebuah prinsip hidup yang disebut tallase kamase-mase. Itu merupakan bagian dari pasang yang memerintahkan masyarakat Kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja, menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Menurut mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan.
Sebagian besar penduduk Kajang bermata pencaharian sebagai petani, tukang kayu dan penenun. Aktivitas ini dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup saja, tanpa ada kecenderungan mencari sesuatu yang lebih dari kebutuhan hidup. Masyarakat adat Kajang sangat konsisten memegang teguh prinsip tallase kamase-maseini. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek hidup sehari-hari sebagai berikut:
- Bentuk rumah yang seragam, seragam bahannya, seragam besarnya, dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman itu bermaksud menghindari saling iri di kalangan mereka, yang dapat berakibat pada keinginan memperoleh hasil lebih banyak dengan cara merusak hutan.
Bentuk Rumah Suku Kajang |
- Larangan membangun rumah dengan bahan bakunya batu-bata. Menurut pasang, hal ini adalah pantangan, karena hanya orang mati yang telah berada di dalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya berasal dari batu-bata, meskipun penghuninya masih hidup namun secara prinsip mereka dianggap sudah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah. Apabila diperhatikan hal tersebut lebih jauh, maka sebenarnya pantangan yang demikian bersangkut-paut dengan pelestarian hutan. Bukankah untuk membuat batu-bata, diperlukan bahan bakar kayu, karena proses pembakaran batu-bata memerlukan kayu bakar yang cukup banyak. Dengan pantangan itu sebenarnya memberikan perlindungan pada bahan bakar kayu yang sumber utamanya berasal dari hutan.
- Memakai pakaian yang berwarna hitam. Warna hitam untuk pakaian (baju, sarung) adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurutpasang, tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian (baju dan sarung) menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Turek Akrakna. Kesamaan bukan hanya dalam wujud lahir, akan tetapi juga dalam menyikapi keadaan lingkungan, utamanya hutan mereka, sehingga dengan kesederhanaan yang demikian, tidak memungkinkan memikirkan memperoleh sesuatu yang berlebih dari dalam hutanmereka. Dengan demikian hutan akan tetap terjaga kelestariannya
Ada beberapa falsafah hidup Suku Kajang :
Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, adakkako nu kamase-mase, ameako nu kamase-mase
artinya berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie, pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju,
artinya kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.
Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga,
artinya peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan. Filosofi ini menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan, sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya.
Anjo Karaenga se’reji, karaeng Allah Ta’alaji,mingka rie’nikua karaeng labbiriyya. Karaeng labbiriyya battuanna parekna Allah Ta’ala. Karaeng Allah Ta’ala taniassengai niurang abbicara, Jari annanroi karaeng di bohena linoa,Iyami antu nikua ada, iyamintu Amma Toa
Artinya:Tuhan itu hanya satu, yaitu Allah Ta’ala, Tapi ada yang disebut raja mulia Yang diciptakan oleh Allah Ta’ala, Karaeng Allah Ta’ala tidak dapat secara langsung diajak berbicara, Jadi Allah menetapkan wakilnya di bumi, Itulah yang disebut adat, itulah Amma Toa
Mari Mengenal Lebih dekat Suku Kajang bersama Kami
Sumber : sejarahkajang.blogspot.com dan Beberapa Wawancara Penulis dengan Warga Suku Kajang
No comments:
Post a Comment